Oleh : Yodhia Antariksa
NLP barangkali merupakan salah satu kata kunci yang paling banyak dibincangkan oleh para praktisi perilaku manusia (human behavior) di tanah air beberapa tahun belakangan ini. Apa sebenarnya NLP itu? Dan apa pula metode-metode kunci yang acap diaplikasikan dalam penerapan NLP? Tulisan pendek ini mencoba secara ringkas – namun padat – menjelaskan pengetahuan kunci mengenai NLP. Dengan itu, diharapkan aura magis yang selama ini menyelimuti konsep NLP pelan-pelan bisa mulai terkuak.
NLP sendiri merupakan singkatan dari neuro linguistic programming (wuih, singkatannya serem banget!). Dikembangkan pertama kali oleh Richard Bandler (pakar psikologi dari University of California) dan John Grinder (pakar linguistik), metode ini muncul pertama kali saat mereka meneliti para great performers (kebetulan dalam penelitian ini, profesi para great performers yang diriset adalah para ahli terapis yang sukses. Dalam riset ini, digunakan tiga terapis sukses sebagai responden, yakni : Virginia Satir, Milton Erickson dan Fritz Perls).
Pertanyaan kunci Bandler dan Grinder dalam riset tersebut adalah : mengapa tiga terapis ini menjelma menjadi terapis hebat nan ekselen? Apa pola komunikasi, konfigurasi bahasa, dan model perilaku yang dipraktekkan ketiga terapis itu sehingga mereka menjadi sukses dalam menangani para kliennya?
Nah, serangkaian temuan yang di-ekstrak dari riset panjang itu lalu mereka olah dan racik menjadi metode NLP. Esensi dasar dari metode ini sebenarnya adalah optimalisasi pendayagunaan belief (neuro), pola komunikasi (linguistic) dan model perilaku agar kita bisa menuju kinerja yang ekselen. Nah, disini NLP kemudian juga menyodorkan serangkaian metode yang bisa dilakukan agar pola belief dan pola perilaku kita menjadi lebih efektif; dan pada gilirannya mampu menjadikan diri kita lebih optimal kinerjanya.
Lalu apa saja metode yang ditawarkan oleh NLP itu? Berikut ini saya akan mencoba mengeksplorasi tiga metode yang acap digunakan dalam aplikasi NLP (jika Anda ingin mengetahui lebih banyak mengenai NLP, silakan datang ke blog rekan saya, Ronny FR, yang juga merupakan praktisi andal NLP).
Modelling Excellence
Metode ini secara sederhana adalah teknik menduplikasi dan mencangkokkan “keistimewaan” para great performers ke dalam diri kita. Bahasa awamnya adalah : meneladani kisah keberhasilan orang lain. Para pegiat NLP percaya bahwa salah satu cara yang paling powerful untuk meningkatkan kinerja seseorang adalah dengan cara modelling excellence ini. Inilah metode yang diberangkatkan dari satu keyakinan bahwa ketrampilan (skills), pengetahuan dan perilaku dari para excellent performers bisa ditransfer dan direplikasi (penjelasan rinci mengenai langkah demi langkah melakukan modelling excellence ini akan saya bahas dalam tulisan di kesempatan berikutnya. So, keep visiting this blog, bro).
Metode Anchoring
Metode ini adalah sebuah upaya agar kita selalu berada pada kondisi psikologis yang kita inginkan dalam beragam situasi yang mungkin kita hadapi. Caranya pertama-tama Anda mesti membangun situasi psikologis yang ingin Anda simpan, misalnya suasana hati yang kalem dan relax. Lalu ingat dalam situasi apa Anda pernah benar-benar bisa mengalami suasana tenang dan relax; misal ketika Anda bangun di waktu subuh yang sunyi, atau ketika Anda duduk sendirian di pinggir pantai di suatu sore yang teduh.
Rasakan dan resapkan setiap detil dari momen-momen itu, sehingga secara emosional Anda benar-benar merasa tenang dan relax setiap kali mengingat situasi ketika Anda berada di pinggir pantai yang teduh itu. Simpan memori ini kuat-kuat kedalam otak Anda, dan secara berkala “aktifkan” memori itu dengan misalnya, sebuah kode bisikan dalam hati. Sehingga, setiap kali Anda berbisik dalam hati : “relax….”, maka seketika itu pula Anda benar-benar merasa tenang dan relax persis seperti suasana psikologis ketika Anda duduk sendirian di pinggir pantai. Lakukan proses pengaktifan ini secara berulang-ulang, sehingga proses “anchoring” itu berlangsung dengan sempurna dan otomatis.
Apa gunanya proses anchoring itu? Nah, bayangkan suatu ketika Anda harus berbicara di depan publik serta para bos Anda, dan Anda benar-benar merasa nervous. Kalau proses anchoring Anda telah terlatih, maka Anda tinggal membisikkan satu kata di hati : relax……dan abrakadabra, detik itu juga Anda akan berada pada situasi psikologis yang nyaman dan relax (persis seperti saat Anda mengalaminya pada sore yang teduh di pinggir pantai itu). Selanjutnya……..Anda bisa berbicara di depan para petinggi Anda itu dengan nyaman, tenang dan relax.
Proses anchoring ini tentu juga bisa diterapkan dalam situasi lain, semisal : ketika Anda sedang stres dan panik karena deadline pekerjaan, atau juga ketika Anda sedang emosi dengan pasangan hidup Anda. Setiap kali Anda menghadapi situasi rumit seperti ini, maka Anda tinggal bisikkan kata dalam hati : relax, dan seketika itu juga suasana batin Anda bisa lebih tenang dan “nyaman”, sehingga tindakan Anda dalam merespon situasi problematis itu menjadi lebih efektif.
The Map is Not the Territory
Kalimat ini merupakan kalimat favorit para NLP-ers. Intinya : sebuah even (fakta, kejadian, peristiwa) selalu bersifat netral, yang lebih penting adalah persepsi kita terhadap even itu. Anda mungkin pernah mendengar cerita berikut ini : suatu ketika ada dua salesman sepatu dikirim ke sebuah negara seberang. Dua hari setelah melakukan observasi, salesman pertama langsung minta dikirim pulang ke negaranya. Alasannya : tidak ada satupun penduduk di negeri seberang itu yang memakai sepatu. Salesman yang kedua, setelah juga melakukan observasi, langsung mengirimkan fax ke kantor pusatnya, minta dikirimi segera sepatu sebanyak-banyaknya. Alasan dia sama : tidak ada satu pun penduduk di negeri seberang itu yang memakai sepatu. You got the point, right?
Esensinya adalah ini : persepsi kita atas sebuah peristiwa – dan bukan fakta peristiwa itu sendiri – yang akan mempengaruhi pola perilaku dan kinerja kita dalam memaknai perjalanan kehidupan ini. Dalam konteks ini, para pelaku NLP memberi saran, agar kita selalu melihat “sisi positif” dan “peluang” yang ada dibalik setiap kejadian/fakta/peristiwa. Kita mesti bisa melakukan “reframing” terhadap setiap jejak peristiwa dalam sejarah hidup kita : apa hikmah positif yang bisa kita petik dari kejadian ini; apa perspektif lain yang bisa kita kedepankan agar bisa tercapai solusi hidup yang makin optimal.
Dengan kata lain, persepsi kita akan sebuah kejadian bukanlah sebuah kebenaran tunggal – ada persepsi dan sudut pandang lain yang boleh jadi lebih mendekatkan kita pada solusi yang lebih optimal. Tugas kita adalah selalu mencoba mengeksplorasi
beragam persepsi dan sudut pandang itu, agar keputusan dan tindakan yang kita ambil benar-benar efektif dan berdaya guna tinggi. Sebab dengan itu, nasib kita mungkin akan lebih baik dibanding salesman sepatu yang pertama itu……
Sumber :
http://strategimanajemen.net/2008/04/21/merancang-kinerja-ekselen-dengan-nlp/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar